Ngobrol Bareng MPR RI image source: Nanang Diyanto |
Sabtu
lalu 4 November 2017 saya berkesempatan hadir dalam sebuah diskusi menarik
bersama Sekjen MPR RI Bapak Ma’ruf Cahyono dan Kepala Bagian Pengolahan Data
dan Sistem Informasi, Biro Humas MPR RI Bapak Andrianto yang bertajuk Ngobrol
Bareng MPR. Saat acara berlangsung selain dibuka dengan menyanyikan lagu
Indonesia Raya (ini adalah bagian favorit saya) juga menyanyikan lagu Bangun Pemudi Pemuda ciptaan
dari A Simanjuntak. Seketika ingatan saya langsung melayang ke masa-masa masih
disebut mahasiswa baru. Masa di mana para pemuda ini sedang gagah-gagahnya
memegang teguh yang namanya idealisme. Yang membuat saya teringat jelas di masa
ini adalah selalu ditekankan tentang Peran dan Fungsi Mahasiswa.
Waduh...
ini paragraf pembuka saja sudah berat begini. Ta[i memang benar-benar membawa ingatan saya
jauh terbang ke masa itu. Waktu itu kami diminta untuk merefleksikan Peran dan
Fungsi Mahasiswa lalu menuliskannya di blog masing-masing dan nanti hasilnya
akan dibaca serta dikritisi oleh senior kami. Apa saja sih dulu yang disebut
sebagai Peran dan Fungsi Mahasiswa? Coba kita lihat kembali satu-persatu,
semoga masih sama dengan Peran dan Fungsi Mahasiswa saat ini.
1.
Agen Perubahan (Agent of Change). Zaman dulu kalau ditanya orang perubahan seperti
apa? Ya mikirnya cuma mampu menjawab perubahan yang lebih baik. Ya benar sih,
mana ada orang ingin mengubah keadaan dirinya sendiri jadi lebih buruk?
Terlebih pada keadaan bangsanya.
2.
Generasi Penerus Bangsa (Iron Stock). Ya namanya saja pemuda, pastinya terlahir untuk
meneruskan perjuangan orang-orang yang terlahir sebelum kami.
3.
Penjaga Nilai-Nilai Moral (Moral Force). Sebenarnya ini mulai agak berat. Mahasiswa dipandang
sebagai kaum terpelajar (katanya). Karena sebagai “kaum terpelajar” itulah
diharapkan mampu menjadi contoh bagi masyarakat luas dalam kehidupan yang
bermoral.
4.
Pengontrol Keadaan Sosial (Agent of Social Control). Setelah membentuk diri menjadi manusia
yang bermoral tentunya mahasiswa yang juga makhluk sosial ini diharapkan mampu
mengontrol keadaan sosial.
Baiklah,
dari urutannya saja ini terbaca sangat melambangkan idealisme padahal pada
kenyataannya tidak semudah itu. Entah hanya berapa persen dari mantan-mantan
mahasiswa yang betul-betul mengamalkannya, berapa persen yang menyimpannya
dalam ingatan, berapa persen yang melupakannya begitu saja, atau mungkin malah
sama sekali tidak pernah tahu? Lalu apa hubungannya dengan perbincangan hari
sabtu lalu? MPR RI sebagai Rumah Kebangsaan Pengawal Ideologi Pancasila dan
Kedaulatan Rakyat ini datang untuk mengajak para warga internet atau netizen di Surabaya mendiskusikan tentang
empat pilar.
Empat
pilar yang dimaksud tersebut adalah:
1.
Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara;
2.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 sebagai Konstitusi Negara;
3.
NKRI sebagai Bentuk Negara;
4.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara.
Kenapa
sih MPR mau repot-repot mengadakan diskusi semacam ini dengan beberapa orang
yang hobinya curhat di blog dan ngoceh di media sosial? Well, saya pribadi malah bersyukur MPR punya acara semacam ini yang
saya lihat sebagai bentuk perhatian dan rasa sayang terhadap bangsa dan masa
depan negara. Mereka yang ada di Kebangsaan Pengawal Ideologi Pancasila dan
Kedaulatan Rakyat juga sepenuhnya menyadari bahwa warga negara ini adalah
makhluk yang hidup di dua alam. Alam kasat mata yang kita lihat sehari-hari dan
alam maya yang pergerakannya sangat cepat, bahkan mampu membuat orang pendiam di
alam kasat mata menjadi orang dengan sejuta bahasa di alam maya. Saking
cepatnya pergerakan di dunia maya ini sampai-sampai berita apapun bisa menyebar
secepat angin. Apalagi berita palsu alias hoax,
bukan lagi tersebar secepat angin tapi melebihi kecepatan cahaya. Jangan
memandang ke permasalahan yang lebih jauh dulu deh, bahkan perbedaan
kepercayaan bahwa bubur ayam tidak boleh diaduk dan harus diaduk saja terus
bergulir dengan hangat di media sosial. Perbedaan kepercayaan bubur saja sudah
memperjelas bahwa bangsa kita berbeda-beda setiap individunya. Saya sih
penganut kepercayaan bahwa bubur ayam haram hukumnya jika diaduk. Kalau kalian?
Eh... hehe.
Permasalahan
sesimpel itu saja perhatian masyarakat begitu besar. Apalagi yang kita tahu
akhir-akhir ini kan? Orang-orang akan lupa mana saudara dan teman jika sudah
membahas kepercayaan dalam ranah politik. Ajang pemilihan wakil rakyat malah
membuat rakyat melupa hati nuraninya. Ajang pemilihan pemimpin malah membuat
rakyat melupa bahwa dia juga pemimpin atas dirinya sendiri. Kalau masih merasa
menjadi manusia mungkin jauh di dalam hatinya meski sedikit, memiliki
kekhawatiran bahwa kita yang satu bangsa ini mulai lupa bersyukur bahwa kita
dicipatakan berbeda agar bisa bersatu. Saat minum kopi di tengah acara diskusi,
saya sangat tertohok dengan pertanyaan “Masih Indonesiakah Kita?” Harusnya
masih jika melihat KTP dan paspor masing-masing. Tapi hatinya? Apa masih
Pancasila yang menjadi Ideologinya? Apa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 masih dipegang sebagai konstitusi negaranya? Apa masih mengimani
NKRI sebagai bentuk negaranya? Dan apa masih bersyukur terlahir di tengah
perbedaan yang indah hingga Bhinneka Tunggal Ika masih dipegang sebagai
semboyan?
Lalu
apa hubungannya ingatan yang melayang di masa lalu pada Peran dan Fungsi
Mahasiswa dengan Empat Pilar MPR RI ini? Terima kasih banyak MPR RI yang masih
memberi perhatian dan mau mengetuk hati Warga Negara Indonesia ini yang hidup
di dua alam. Hidup di alam manapun tidak boleh melupa bahwa kita masih
Indonesia. Sesederhana itu kita harus membawa diri dalam kehidupan. Dan membawa
diri mengamalkan Peran dan Fungsi Mahasiswa bisa dimulai dari yang sederhana.
Jika mengingat kita masih Indonesia, maka kita akan mudah menjadi manusia yang
damai dan menjaga perdamaian. Perkembangan teknologi informasi yang cepat
ternyata tidak dibarengi dengan kemauan diri untuk menambah pengetahuan dan
menjaga sikap yang bijak di sosial media. Mengamalkan Peran dan Fungsi
Mahasiswa bisa dimulai dengan hal sederhana terhadap sikap kita sehari-hari di kehidupan sosial
media. Jika masih Indonesia, kita akan mampu memimpin diri sendiri untuk tidak
terbawa kabar yang belum tentu kebenarannya. Jika masih Indonesia, kita akan
senantiasa menjaga diri dan perkataan
dalam pergaulan di sosial media. Jika kita santun dalam berkata dan bersikap,
maka interaksi yang tercipta juga akan turut santun. Lalu dengan begitu kita
juga bisa jadi generasi penerus bangsa yang semoga saja bisa membawa perubahan
lebih baik. Perkembangan teknologi akan terus terjadi. Dengan menjadi manusia
yang santun dan menciptakan interaksi yang santun, siapa tahu tidak hanya
menjadi generasi penerus bangsa yang membawa perubahan lebih baik, tapi juga
memberi contoh pada generasi yang akan datang. Siapa yang akan tahu? Toh
generasi penerus bangsa juga akan tumbuh dari didikan dan mencontoh generasi
kita. Menjadi santun tidak hanya menjaga Indonesia saat ini, tapi juga
Indonesia milik generasi yang akan datang. Semoga kelak mereka juga masih sama
bersyukurnya dengan kita saat ini terlahir dalam perbedaan yang membuat kita
mengerti indahnya persatuan.
4 Comments
Acaranya seru euy...
ReplyDeleteMakin seru bersama mbak Dian. Hehe...
Deletemantap ndah
ReplyDeleteApanya mas? Hahaha
Delete