Sepaket Album buku Konspirasi Alam Semesta Milik Saya |
Saya
penikmat musik random. Tak ada satu genre khusus yang saya gandrungi.
Tak ada lirik khusus atau komposisi musik tertentu yang wajib saya dengarkan.
Kadang bisa mendengarkan nasyid yang membuat hati bertaubat barang 5 menit,
lagu romansa yang mengalirkan pada bayang-bayang yang kunjung datang, atau
musik keras semacam SOAD. Semua random. Ah tapi tulisan ini tak sedang untuk
menunjukkan bagaimana ketertarikan saya pada musik. Tulisan ini tentang
perkenalan saya pada musiknya Fiersa Besari. Ya seorang yang namanya saya kenal
sejak album 11:11 miliknya hingga kini saya ikuti sampai Album Konspirasi Alam
Semesta. Nama Besari sendiri unik, ternyata ada nama seperti itu selain kakak
saya dan saat film Ainun Habibie, nama Besari tak lagi asing di telinga
manusia.
Fiersa
Besari, pemusik indie asal Bandung yang saya tak tahu awal karir bermusiknya
secara profesional sejak kapan. Seorang teman begadang mengenalkan saya pada
musiknya namun malah saya yang terjatuh ke sungai arus hingga albumnya yang
terbaru. Saya enggak ngerti musik-musik indie lainnya yang saya dengarkan enak
ya saya suka, gitu aja. Setahu saya album 11:11 sempat diproduksi secara fisik
lalu habis terjual dan dapat diunduh secara gratis di situs lelaki yang lebih
senang dipanggil Bung itu. Lalu setelah itu ia juga sempat membuat album Tempat
Aku Pulang yang juga dapat diunduh secara gratis. Katanya itu album sebelum ia
pergi menyambangi wajah tiap manusia di pelukan ibu pertiwi. Tak hanya
mengikutinya dalam hal bermusik, saya sebagai manusia kekinian yang gemar
berselancar di dunia maya kerap menyapanya di twitter. Bahkan iseng mengirim
pesan agar menerima permintaan teman di facebook.
Fiersa, musik, dan petualangannya turut jadi penyemarak hari-hari. Pernah dari
obrolan lewat twitter saat oktober 2013 menjelang habis, ia mengirim sebuah DM
menanyakan apakah saya sedang ulang tahun. Ucapan selamat hingga folback
twitter jadi kejutan. Sesekali norak karena hal yang disukai sah-sah saja kan?
Ya, lalu setelah kepulangannya dari berkeliling Indonesia, ia merilis ulang
album Tempat Aku Pulang dalam bentuk fisik dan bonus hidden track yang luar
biasa keren. Konsep dari album fisik Tempat Aku Pulang juga tak biasa. Syairnya
ditulis tangan oleh kawan-kawa Fiersa Besari yang ia temui selama perjalanan
dan dilengkapi ilustrasi di sampingnya.
Album Tempat Aku Pulang Milik Saya (Lusuh ya? hehe) |
29
Oktober 2015, Fiersa kembali merilis album yang bertajul Konspirasi Alam
Semesta. Uniknya dia menggadang konsep fusi antara musik dan literasi hingga
karya terbarunya lahir dalam bentuk albook, yaitu album dan buku. Kecintaannya
pada dunia literasi dibuktikan dengan serius kali ini. Berisi 14 track dan berarti pula ada jumlah chapter yang sama di bukunya. Saat
pertama mendengar musik di album yang baru ini akan sangat terasa segar dengan beat baru yang ditambahkan. Ah saya
enggan mengkritisi, saya buka profesional. Hanya berkomentar dari sudut pandang
orang yang setia menikmati karyanya. Syair-syairnya kali ini dibuat dengan jauh
lebih sederhana dari album sebelumnya. Tapi itu tak berarti menjadikannya tak
lebih menarik. Justru secara sederhana ia bagai mampu menyampaikan seluruh
pesannya dengan sempurna, meski kata sempurna hanya pantas disandingkan dengan
Tuhan. Lagi-lagi setiap tracknya akan
mampu membawa hati pendengarnya turut mengalir hingga musik berakhir. Bahkan
saya yakin banyak pula manusi di luar sana yang setuju jika kisahnya dibilang
masuk banget dengan lagu-lagunya.
Lalu dimana
letak fusi antara musik dan bukunya? Kuncinya adalah nikmati dulu dua karyanya
di Konspirasi Alam Semesta. Tak bisa jika hanya mendengar saja atau membaca
saja. Paling tidak keduanya harus pernah dinikmati. Saat membaca bukunya kita
akan tahu bagaimana mereka berfusi. Dibalik syair sederhana ada cerita sederhana
namun hangat dari dua anak manusia dalam buku tersebut. Juang Astrajingga dan
Ana Tidae adalah dua tokoh sentral dari buku Konspirasi Alam Semesta yang
terdiri dari 118 halaman tidak termasuk cover. Jadi dari yang saya pahami bahwa
bukunya memberi warna dan menjabarkan makna dari sederhananya syair.
Menggambarkan keadaan sesungguhnya dari sisi penulis. Menghidupkan
syair-syairnya dari setiap cerita di chapternya.
Lalu syairnya sendiri merupakan sebuah wakil dari keadaan yang dituliskan di
buku dengan secara sederhana. Kemudian para pendengar dipersilakan
mensubstitusi kisah dalam buku dengan kisah mereka sendiri.
Awalnya
saat membaca halaman pertama saya sempat curiga bahwa isi dari buku ini adalah
roman picisan dengan dambaan jalan cerita ala anak muda. Seperti berawal dari
keadaan yang tak terduga, jatuh cinta tapi si wanita saki, konflik, klimaks,
anti klimaks, lalu bahagia selamanya. Nah memang manusia baiknya tak cepat
menilai. Jujur 118 halaman yang harusnya mudah bagi para pecinta novel ternyata
tak demikian. Untuk menikmati buku ini harus pelan, menikmati diksi yang
tersaji apik. Awal pertemuan dua tokoh sentral agak bisa diduga namun isi
perjalanan mereka yang tidak. Seperti saat mereka bertemu karena tidak sengaja,
kemudian telibat cinta segitiga, sampai akhirnya Ana Tidae diharuskan memilih
satu untuk hatinya. Cerita ini memiliki beberapa klimaks semu seperti pada
waktu mereka merayakan resminya cinta hanya berdua, perginya Juang ke Papua
lalu menghilang. Namun klimaks semu itu mengantarkan pada klimaks sesungguhnya
dimana mereka merayakan sembuhnya Ana dari penyakit, merayakan resminya cinta
mereka di mata Tuhan, lalu perginya Juang dari dunia untuk selamanya. Anti
klimaks paling memilukan saat Ana berdamai dengan takdir buruk yang menimpa
kisah mereka.
Sederhana
bukan jalan ceritanya? Memang, tapi mampu dikemas dengan bumbu yang tak biasa. Saya
mengira bahwa jalan ceritanya pun fusi antara fiksi dan pengalaman pribadinya
sewaktu di Bandung maupun keliling Indonesia. Buku ini menawarkan paket lengkap
manisnya percintaan, pahitnya pengkhianatan, eratnya persahabatan, hangatnya
keluarga, gigihnya perjuangan, hingga beratnya melepaskan. Sewaktu membaca juga
sukses membuat emosi seperti papan jungkat-jungkit lalu dikatrol ke atas dan
dihempas ke bawah. Iya sukses mengaduk emosi pembaca. Seratus delapan puluh
halaman yang tanpa sia-sia. Diksinya menyelamatkan para penulis ulung dari
kemiskinan. Iya sesuatu yang ditakutkan penulis bukannya miskin harta namun
miskin diksi. Bagi saya pribadi fusi antara musik dan literasi dalam karyanya
kali ini adalah berhasil. Saking berhasilnya saya ingin suatu saat buku ini
didaftarkan ke ISBN dan ISSN. Terima kasih atas suguhan karyanya yang mewarnai
dunia seni dan literasi. Selamat terus berkarya hingga tak mampu lagi melawan
kehendak Tuhan untuk sebuah akhir. Selamat menikmati dan menghargai karya
Fiersa Besari bagi para pecinta seni dan literasi.
0 Comments