Foto Oleh: D. Indah Nurma |
Seorang pemuda berusia dua puluh
tahunan yang lahir 15 tahun setelah NKRI merdeka sedang menikmati masa mudanya.
Layaknya pemuda seusianya, dia sedang menikmati aliran darah muda yang
bergejolak. Negara sudah merdeka dan pastilah meraih cita-cita tak lagi sesulit
dahulu asal mau berusaha. Hobinya bermain sepak bola dan tergabung dalam sebuah
tim sepak bola kelurahan di Surabaya. Mimpinya tentu saja menjadi pemain sepak
bola profesional. Hidupnya yang beruntung seakan berubah dalam sekejap.
Kecelakaan sepeda motor saat perjalanan luar kota hampir merenggut nyawanya.
Patah tulang kaki, punggung, belikat, dan entah yang mana lagi. Kakinya dijahit
dari mata kaki hingga hampir lutut, punggung dan pinggangnya juga. Tubuhnya
bisa disebut seperti tambal sulam. Tak hanya itu, ternyata tubuhnya lumpuh
total dan dokter tak berani memberikan harapan lebih untuknya bisa melanjutkan
hidup seperti sedia kala. Menghabiskan sepanjang hari bahkan seumur hidup di
atas tempat tidur adalah pilihan yang tak pernah dibayangkannya. Masih selamat
saja sudah untung, pikirnya ini seperti kehidupan keduanya setelah hampir mati.
Tidak lagi ada mimpi di depan, mungkin mimpi dalam tidur saja tak berani
dijamahnya. Masa depannya turut remuk beserta tulang di tubuhnya. Tapi yang
paling mengiris hatinya adalah perkataan dokter bahwa dia akan sulit memiliki
keturunan. Jangankan soal keturunan, menjalani hidup normal saja tidak bisa.
Pemuda itu akhirnya merelakan
mimpi indahnya sebagai pemain sepak bola dan masa mudanya yang begitu semangat.
Dia masih punya orang tua yang lengkap dan empat saudara kandung. Paling tidak
jika memang seumur hidup harus dihabiskan di atas tempat tidur, ia masih bisa
mengharap kerelaan hati saudara-saudaranya untuk mengurus dirinya. Tapi dia
seorang lelaki yang tak mau bergantung hidup pada orang lain. Meskipun mimpinya
runtuh, ia tak membiarkan harga dirinya jatuh dan hancur seperti keadaan
tubuhnya. Tekadnya sebagai seorang lelaki yang mandiri dimulai dengan berlatih
menggunakan kursi roda, setelah itu berlatih berjalan menggunakan tongkat,
sampai akhirnya dapat berjalan tanpa alat bantu meskipun cara berjalannya tak
normal seumur hidupnya. Tentu saja proses itu tak semudah kita membaca tulisan
ini. Seseorang yang divonis lumpuh seumur hidup bisa berjalan kembali dengan
tidak membiarkan semangat dan harga dirinya lumpuh.
Sementara itu di belahan Surabaya
yang lain seorang wanita muda usia 20an dan juga lahir 15 tahun setelah negara
kita merdeka sedang bekerja dengan giat. Mulai dari buruh yang mengemasi permen
mint yang lubang di tengahnya sampai menjadi penjahit. Baginya hidup tidak lagi
mudah ketika bapaknya meninggalkan ia ketika belum rampung sekolah dasar. Tiga
adiknya yang lain masih kecil dan butuh makan serta sekolah. Ibunya bekerja
berjualan makanan apapun yang dapat dibuatnya di depan rumah. Ia anak ke-tiga
dari enam bersaudara yang memilih mengabaikan pendidikannya demi membantu orang
tua menyekolahkan adik-adiknya. Beruntung saat itu mencari pekerjaan tidaklah
sesulit abad milenium ini. Ditambah parasnya yang ayu bagai anak orang Tiongkok
pemilik pabrik tahu dan perangai yang periang, membuat dia mudah diterima
dalam pergaulan. Namun yang namanya bekerja sedari anak-anak tidaklah mudah
untuk dijalani. Usaha kecil-kecilan ibunya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup bukan keinginan hidup. Tidak mendapat pendidikan yang layak tidak membuat
ia tidak berpendidikan. Justru kehidupan yang keras telah mendidiknya menjadi
manusia yang baik meskipun harus menjalani masa muda yang keras.
Tak ada yang kebetulan di dunia
ini. Semua sudah diatur dengan baik olehNya di Lauhul Mahfudz. Pemuda malang
yang tiba-tiba kehilangan masa depan dan pemudi tangguh itu dengan cara
tersendiri dipertemukan dalam ikatan pernikahan. Penderitaan yang dialami
pemuda itu tidak serta merta membuatnya malas melanjutkan hidup. Semangatnya
yang luar biasa membawanya sebagai salah satu staff administrasi sebuah jurusan
di kampus ternama di Surabaya. Sedangkan pemudi itu tidak pula menjadi angkuh
karena merasa telah terlatih menghidupi dirinya sendiri. Semua proses itu
membawa mereka pada suatu titik bernama dewasa dan bijaksana. Bekal seumur
hidup yang paling berharga. Dengan segala keterbatasannya, pemuda itu
menjalankan tugas sebagai pemimpin keluarga. Memberikan rumah dan kehidupan
yang layak serta kebahagiaan bagi istri dan kedua orang anaknya. Ia bekerja
keras setiap hari dan setiap akhir pekan selalu mengajak anak-anaknya berlibur.
Terkadang jika kelelahan, bekas kecelakaannya menimbulkan rasa sakit yang hebat
tapi tak lebih luar biasa dari semangatnya. Lalu si pemudi itu menjelma menjadi
wanita yang berhati lembut, berhati besar, dan berhati tulus. Mungkin ia tak
sempat mencicipi pendidikan yang tinggi tapi ia selalu mendidik anak-anaknya
dengan hati. Bukan pengetahuan tentang dunia yang ia tawarkan pada anak-anaknya
tapi pendidikan untuk menjadi manusia yang adil dan beradap berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan mengajarkan bagaimana sholat itu tapi
menunjukkan bagaiamana sholat itu. Setiap pagi-pagi buta ia memandikan kedua
anaknya lalu diletakkannya mereka di dekatnya yang sedang sholat subuh bersama
suaminya. Sampai akhirnya anak-anaknya itu terbiasa bangun pagi lalu diam-diam
mengikutinya sholat. Dari hal-hal sederhana itulah, dia mengajarkan bagaimana
anak-anaknya menjadi manusia yang beradab di tengah peradaban yang semakin
maju.
Mereka membangun keluarga yang
baik di tengah segala keterbatasan. Usaha keras yang diperbuat pemuda itu dan
kebesaran hati pemudi itu untuk menerima segala kekuarangan suaminya dengan
ikhlas membuahkan sebuah keluarga yang bahagia. Bukan hanya sepasang suami
istri itu tapi saya juga turus merasakan kebahagiaan dan kebanggaan yang luar
biasa. Tentu saja karena saya adalah anak ke-dua mereka. Saat saya kira saya sudah cukup dewasa, saya mendengar
sebuah percakapan antara orang tua saya dan kakak ipar saya (waktu itu masih
calon). Kiranya begini "Saya beruntung sekali memiliki seorang istri
seperti ibunya Saudi (abang saya), Ibu menerima Bapak apa adanya dan selalau
qanaah (tidak pernah meminta sesuatu yang tidak bermanfaat). Saya kira saya
sudah cukup dewasa untuk memahami, orang tua saya tidak pernah segan
menunjukkan rasa kasih sayang mereka di depan anak-anaknya. Saya kira itu
kuncinya, saya mendapat pelajaran bagaimana sosok lelaki itu seharusnya dan bagaimana
menjadi wanita seharusnya. Selamat kepada Ayah dan Ibu, kalian berhasil
mendapatkan predikat manusia yang inspiratif bagi anaknya. Dan satu lagi, saat
mengalami krisis percaya diri yang teramat parah sampai saya tak berani lagi
bermimpi mereka juga masih tak pernah lelah menepuk pundak saya. Katanya setiap
manusia punya jalan masing-masing dengan warna yang berbeda. Batu besar yang
kebetulan ada di jalan yang bernama masa muda tak perlu terlalu dirisaukan tapi
harus dihadapi. Tulisan ini untuk Ayah dan Ibu yang semoga Allah selalu memberi
mereka kesehatan, panjang umur, dan bisa memenuhi panggilan ke Baitullah dalam
keadaan sehat serta fisik yang kuat. Aamiin!
2 Comments
terharu bacanya, mbak.. :') hm, melihat kisah romantis itu nggak perlu jauh2, cukup mencermati kedua orang tua kita. btw, semoga tulisannya menang ya :))
ReplyDeleteEh iya Ziah. Makasih ya :)
Delete