Hari ini rasa rindu itu sekali
lagi menyergapku kembali, seakan merengkuhku pada masa aku disebut anak baru
gede. Jika orang-orang mengatakan masa yang paling indah adalah masa di SMA,
itu tidak berlaku bagiku. Masa terindahku adalah masa SMPku. Tentu hal ini
tadak serta merta kusadari begitu saja saat aku tumbuh di masa SMA. Akhir-akhir
ini beberapa semester belakangan semenjak hobiku menjadi suka aneh-aneh, ya
hobi mendatangi tempat-tempat yang memiliki pemandangan indah atau suasana
nyaman. Tentu tak semuanya begitu, kadang di tempat yang tak indah atau nyaman
juga memberiku pemahaman baru mengenai takdir yang harus kupetik hikmahnya. Tak
semua tempat-tempat itu kudatangi dengan sengaja, tapi betapapun
ketikdaksengajaan juga telah diatur sedemikian rupa oleh Allah. Itu pula yang
mendasariku terus bernostalgia dengan ingantanku sendiri ternyata betapa
berharganya masa SMP yang pernah kulalui
dulu.
Bukan sebuah SMP negeri yang
dieluh-eluhkan oleh anak baru gede yang pasti bahagia minta ampun ketika mereka
diterima di sana, atau sekolah swasta yang tersohor dengan segala fasilitas
mewah di dalamnya. Sekolahku adalah sekolah swasta Islam yang dinaungi oleh
Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dalam sebuah yayasan bernama Taman Pendidikan
Wachid Hasyim Pusat. Dalam ingatanku tak pernah kutemukan hal yang merujuk pada
keinginan masuk SMP negeri seperti kawan-kawanku di Sekolah Dasar dulu. Entah
mengapa, mungkin saja aku terpengaruh oleh masa kejayaan kakak laki-lakiku yang
sama sekali tak pernah membuat ayah mengeluarkan uang untuk menyekolahkannya di
sana. Aku iri padanya, pada kecerdasan yang dianugerahkan Allah padanya sampai
bisa membuat ayah dan ibu bangga. Yang jelas kuingat cuma aku tak ingin salah
langkah dalam pergaulanku yang dalam usia selepas Sekolah Dasar, aku butuh
sesuatu lebih dari sekadar pelajaran Agama Islam di dalam kelas. Kupilih SMP
Wachid Hasyim 1 Surabaya sebagai tempatku menyerap ilmu dari pengajar-pengajar
berhati mulia.
Kala itu kuperhatikan tetangga
ataupun orang yang kukenal bersekolah di sana bukanlah sebuah pilihan
ikhlasnya, hanya karena tak berhasil menembus sekolah favorit di kotaku. Aku
sempat takut juga, jangan-jangan ini keputusan yang salah. Hari-hari awalku tak
ada yang istimewa, hanya aku masuk kelas 7 A yang dulu dikenal sebagai tempat
murid-murid cerdas digembleng dengan lebih keras. Ya, darimana lagi kudapatkan
cerita begitu jika bukan dari kakakku. Sesaat aku merasa senang karena merasa akan
mendapat gemblengan yang sama dengan kakakku itu. Sampai pada hari setelah Masa
Orientasi Siswa terdapat pengumuman pembagian kelas yang sebenarnya. Aku tak
percaya kalau aku digeser di kelas C. Alamak... Tidak apa, kupikir
penggemblengan di sekolah ini pastilah adil untuk semua siswanya. Ternyata
pembagian kelas sudah berdasarkan kemampuan baca tulis Al-Quran yang dilakukan
saat MOS, dan kelas kami termasuk kelas yang lancar. Setidaknya dari penuturan
beberapa guru, kelas ini bisa dibilang kelas khusus. Di sekolah kami kelasnya
memang dibagi berdasarkan hal tersebut, bukannya tidak adil memisahkan yang
sudah lancar atau yang belum tapi itu justru hal paling adil karena mendapat
metode belajar yang sesuai dengan masing-masing kondisi kelas.
Biasa saja tak ada yang istimewa
kupikir, tak ada jam olah raga sebelum jam 7 dan tak ada pulang jam 5 untuk
kelas tambahan bagi kelas khusus. Kecuali aku harus membiasakan diri untuk
upacara hari senin dan taqorub ilallah pada senin berikutnya. Semua dilakukan
bergantian masing-masing senin, jika senin ini kami upacara berarti murid SMA
dan SMK sedang taqarub ilallah begitu pula sebalikanya. Karena kondisinya
memang sekolah kami memiliki SMP, SMA dan SMK. Pembiasaan itu juga pada saat
aku harus sabar menjawab bahwa aku mengenakan seperangkat logam aneh pada
gigiku untuk memperbaiki kondisi gigi ba’da gigi susu yang kacau balau bagai
satu pleton pasukan yang tanpa komandan. Lama-lama kunikmati juga sistem
sekolah baruku ini. Sampai kutemukan teman-teman yang lengket bagai permen
karet yang hilang rasa manisnya setelah dikunyah, bedanya lama kami berteman
semakin lengket dan semakin terasa manis.
Macam-macam pula tingkah pola
kawan-kawan saya di kelas, termasuk kejadian yang memilukan hatiku. Seorang
teman dari etnis Cina namun beraga islam ada di kelasku. Semakin dia terlihat
Cina karena tidak mengenakan jilbab. Oh iya di sekolahku meskipun sekolah Islam
tidak mewajibkan murid wanitanya memakai jilbab, awalnya memang agak protes
tapi aku tahu mereka membebaskan bukan tanpa sebab. Mungkin teman-teman tak
terbiasa dengan dia yang satu-satunya berbeda garis muka dan warna kulitnya
sangat mencolok. Terus terang aku senang memiliki teman dia, apalagi terbiasa
hidup bertetangga dengan etnis Cina yang bahkan memiliki agama yg tidak ada di
pelajaran IPS. Hal itu juga mengingatkanku pada masa Orde Baru akhir yang
beberapa orang tua tetangga Cinaku itu menyuruh anak-anaknya memilih agama di
dalam pelajaran IPS agar bisa bersekolah. Yap, meninggalkan kepercayaan mereka
sedari nenek moyang mereka. Ah kembali pada masa SMP saya. Beberapa orang
memanggilnya dengan sebutan ‘tacik’ yang kutahu itu sangat mengganggunya,
kutahu juga pasti teman-teman tak bermaksud menghina justru mereka ingin akrab.
Mungkin caranya salah bagi temanku itu. Suatu ketika mungkin dia jenuh
terganggu terus menerus, hinga dia bolos sekolah. Tentu aku sangat iba, tapi
aku tak mau dianggap jadi pahlawan kesiangan yang sok-sok’an menepuk pundaknya.
Sering kali aku bersama kawan lengketku menyambangi rumahnya untuk berbincang
dengan orang tuanya dan dengan dia juga tentunya. Pada akhirnya keputusan harus
diambil, temanku memutuskan untuk keluar dari sekolah itu. Aku merasa bersalah
dan malu karena mungkin juga turut menyakiti hatinya. Semoga dia memiliki
kehidupan lebih baik sekarang dan menjadi muslimah yang baik tentunya. Ampuni
kami yang belum mampu dewasa ini Yaa Allah.
Itu salah satu ceritaku yang
paling aku ingat karena rasa bersalah.
Mari saya ajak menengok apa saja
hal berharga dari sebuah sistem pendidikan di SMP saya yang melekat sampai ke
hati dan ingatan saya saat ini. Tentu saja mengenai sistem pendidikannya juga
seperti yang saya sebutkan di awal. Selain itu masih lekat bahwa ada shodaqoh
rutin di hari senin dan kamis, akan ada petugas yang mengambil di masing-masing
kelas saat jam pelajaran pertama. Tentunya seusai do’a dalam Bahasa Arab yang
kami panjatkan bersama, do’a sederhana yang tidak main-main maknanya. Saat
kelas 8 ada sistem baru dalam sekolah, setelah do’a belajar sebelu memulai
pelajaran ada tilawah bersama yang dipimpin dari pusat dan diulang sebanyak 3
kali dengan harapan semua murid bisa membacanya dengan lancar dan tartil.
Kulihat ada yang ogah-ogahan ada pula yang bersemangat. Tentu aku termasuk yang
tengah-tengah, yang penting ikhlas pikirku.
Di bulan Ramadhan jam belajar
dikurangi tapi ditambah mengaji sore. Masing-masing kelas punya jadwalnya
sendiri. Mengaji ini bukan mengaji Al-Quran tapi kitab yang judulnya saya lupa
tapi mengajarkan tentang berkehidupan dalam Islam. Seperti biasa yang paling
saya ingat adalah pelajaran mengenai hak dan kewajiban istri dan suami. Haha bekal
nanti lah. Tapi saya selalu datang setiap hari, bagi saya suasananya sangat
patut dirindukan. Di luar itu tentu ada pelajaran-pelajaran Qurdits (Al-Quran
dan Al-Hadits), AA (Aqidah Akhlaq), Fiqih, Tarikh Islam, Bahasa Arab, dan
serangkaian pelajaran umum lainnya. Banyak ya? Tentu saja karena karena jam
belajarnya mulai dari hari senin sampai sabtu jam 6.30 sampai jam 4 sore. Di
hari minggu tentu adalah hari ekstra kurikuler. Apakah saya merasa bosan?
Ternyata tidak, justru ingin cepat-cepat menikmati pelajaran demi pelajaran.
Saya masih ingat Bu Chaula, guru
Bahasa Indonesia saya di kelas 7
yang mewajibkan kami menulis menggunakan
huruf bersambung, alamak tulisan saya yang tak karuan makin tak bisa terbaca.
Justru itu yang membuat pelajaran ini berkesan. Ada juga Bu Sochifah, guru
geografi yang berhasil membuat saya mengingat jalur busur gunung api dunia. Pak
Choi guru Sejarah yang bagi saya cara mengajarnya tulus, sampai-sampai waktu
itu saya hafal di luar kepala. Pak Choi ini bukan orang Cina tapi itu adalah
panggilannya karena nama sebenarnya adalah Choirul. Lalu ada guru fisika yang
tampan sekali, Pak Ainul Yaqin. Beliau cara mengajarnya juga unik, menjelaskan
dengan bahasa yang saya mudah sekali untuk memahami. Kepala sekolah saya waktu
itu juga menjadi guru Aqidah Akhlaq, diselingi cerita tentang bagaimana beliau
menuntut ilmu. Bu Muthaliah guru Fiqih kelas 7 saya, juga mengajarkan fiqih khusus wanita yang
wajib diikuti oleh murid laki-laki juga.
Guru wali kelas kami tercinta saat kelas 8, Pak Sabran yang juga guru Bahasa
Inggris. Wataknya keras, disiplin, dan
penyayang. Beruntung sekali selama sekolah di sana tak jarang saya Pak Sabran
memberiku jajanan, coklat, dan minuman kemasan botolnya dari rapat guru. Sering
kali mendapat traktiran bakso di kantin oleh Pak Sabran dan juga satpam sekolah
yang tidak lain adalah tetangga di rumah.
Pelajaran lain yang berkesan
adalah Bahasa Arab. Pernah hal memukau terjadi pada saat pelajaran Fiqih oleh
Pak Fadlan, ada Ustadz Lafi yang datang mencari Pak Fadlan kemudian datang guru
lain, mereka bercakap menggunakan Bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia.
Subhanallah itu membuat saya geleng kepala. Pelajaran Bahasa Arab yang juga
saya dapat diluar jam sekolah membuat saya mencintai Al-Quran. Yang lain ada
Pak Mudjiono, guru kesenian dan Bahasa Jawa. Bapak ini telah hidup sejak zaman
penjajahan Jepang mungkin itu yang membuat beliau masih fasih berbahasa Jepang
hingga terbawa pada logatnya yang cepat. Beliau juga cerita bagaimana
perjuangannya dulu. Bapak direktur yayasan kami tak kalah uniknya, beliau
memiliki ciri khas suka memakai kopiah hitam dan sendal bakiak. Pada pagi hari
beliau berjalan dengan santai dan bersahaja, tangan disilang ke belakang, serta bunyi sendalnya yang
kletuk-kletuk membuyarkan candaan khas kelas yang ditinggal sejenak oleh
gurunya. Ketika persami dan sholat subuh di masjid sekolah dan yang jadi imam
adalah Pak Direktur, maka yang terjadi adalah sholat subuh bagai duhur lamanya,
haha. Masing-masing mereka punya keistimewaan dan cara mengajar masing-masing.
Mimpi-mimpi saya pun terbit di sini, dimulai dari ada spanduk besar bertuliskan
ucapan selamat kepada Pak Nuh yang alumni sekolah kami karena telah menjadi
rektor ITS (sekarang jadi Menteri Pendidikan). Awalnya saya tak mengenal beliau lalu akhirnya saya tahu juga.
Pak Choirul yang tak cuma piawai di dalam kelas |
Hari-hari drama berbahasa Inggris
tentang Peterpan and The Lost Boys juga jadi yang tak terlupakan. Berteman
dengan orang-orang yang menyenangkan dan belajar bersama mereka sungguh menjadi
hal yang sangat saya rindukan di semester terakhir kuliah saya ini. Sungguh
barokah ilmu yang pernah kalian bagikan dulu. Terima kasih telah memberikan
kami guru-guru yang ikhlas membagikan ilmunya untuk kami. Rindu ini rindu yang
tak tertahan semoga Allah melindungi bapak dan ibu dimanapun berada. Sungguh
itu adalah amal jariyah yang tak akan terputus. Semoga teman-teman yang lain
juga merasakan keberuntungan yang sama dengan saya.
With Jimmy and Adi as Peterpan and Captain Hook in our drama |
4 Comments
Waah, podho wong suroboyone rek.. Beneran, kangen jg sama masa2 smp-sma dulu.. Salam kenal =)
ReplyDeleteIya saya arek suroboyo, hehe.... Salam kenal juga. Masa yang paling saya rindukan ini ya masa SMP :)
DeleteSalam hangat dari tetangga, sidoarjo
ReplyDeleteSalam hangat juga, meskipun dingin habis hujan. hehe..
Delete